TANGISAN
GADIS BERJILBAB
Air mata gadis itu
masih meleleh. Sudah seminggu tak ada canda tawa yang biasa ia tebarkan. Di
kampungnya ia gadis yang periang dan humoris. Padahal ia termasuk gadis cerdas
dan kuliah di salah satu perguruan tinggii negri. Pun demikian, ia aktif
sebagai organisasi pembela kaum marginal untuk perempuan. Tidak ada yang
menyangka bila kemudian gadis tersebut lebih banyak mengurung diri di kamarnya.
Aku tidak paham dengan kisah hidupnya yang membuat sesuatunya berubah. Aku
sebenarnya jatuh hati dengan wajah anggun dan cantiknya. Sesekali ia melintas
di depan rumahku ketika hendak berangkat dan sepulang kuliah. Bibirnya yang
merona mampu menebarkan daya bayang imajinasiku tentang para gadis di negri
fantasia. Tapi sudah beberapa hari ini aku tak melihat wajah ayu yang mampu
menebarkan kecantikan pada kumbang sepertiku. Rumor yang kudengar ia banyak di
rumah dan menyendiri entah apa penyebabnya. Memang ia bertetanggaan dengan
rumahku namun beda kampung. Sehingga banyak aktifitasnya sedikit kuketahui. Aku
suka bertanya kepada Naura teman dekat sekaligus kuliahnya mengapa Sri Rahayu
jarang menampakan wajahnya sekedar keluar untuk bermain. Namun apalah daya,
jawaban Naura tidak membuatku puas terhadap berbagai masalah Sri Rahayu.
“Saya pernah datang ke
rumahnya. Hanyalah deraian air mata sebagai komunikasi yang bisa ia berikan. Ia
enggan untuk bersua walau sepatah kata selain jerit tangis yang tiada henti,”
Naura bicara padaku.
Naura hanya sedikit
tahu perihal Sri Rahayu. Banyak perubahan pada gadis berjilbab yang dulu
periang itu. Aku hanya yang tiap pagi melihat wajah suci, ayu, dan cantiknya
terasa sepi karena tidak ada pemandangan yang bisa kunikmati dengan daya
khayalku. Sri Rahayu kerap mengenakan jilbab persis seperti gadis Persia atau
Mesir. Hidungnya yang mancung, bola matanya yang biru, kulitnya yang putih
laksana butiran salju sungguh berbeda dengan gadis yang ada di Cisoka pada
umumnya. Aku sudah cukup mengenal tentang gadis Cisoka baik dari bentuk, sifat,
dan karakternya. Sri Rahayu sangat berbeda dengan gadis-gadis lain di negri
Cisoka. Apalagi aku sudah mengenal bagaimana perempuan Cisoka yang sedikit
binal dan sensual. Maka dari itu, dari hatiku yang terdalam. Aku mencintai Sri
Rahayu gadis berjilbab yang berparaskan Timur Tengah.
“Tidak melihat wajahnya
sehari saja. Aku rindu sekali. Ada apa denganmu Sri Rahayu. Untaian jilbab yang
menjuntai membuatku rindu,” gumamku disudut halaman untuk menunggu wajah indah
itu lewat di depan rumahku.
Dalam lamunan
membayangkan Sri Rahayu. Imajinasi yang melukiskan tentang wajah cantik dan
jilbab anggunnya. Terhunus seketika ketika tiba-tiba Fahri melintas dengan tak
terduga. Ia guru madrasah yang di kenal baik, sopan, dan tak terlepas dengan
sepeda ontel yang menjadi ciri khasnya. Umurnya cukup tua untuk guru seusianya.
Fahri merupakan guru madrasah di MTs. Cisoka sekaligus guru Sri Rahayu semasa
sekolah dulu. Secara otomatis ia mengetahui karakter Sri Rahayu apalagi ia juga
pamannya yang sangat dekat. Aku dan Fahri saling bertutur sapa dan berakhir
mengobrol panjang. Aku asik melayani gaya bicara seorang guru yang bijak
bestari tersebut. Namun ketika kutanya perihal Sri Rahayu. Fahri enggan untuk
menjelaskan atau membicarakan keponakannya yang disinyalir berubah dan banyak
mengurung diri. Pak guru itu selalu saja mengalihkan pembicaraan. Seolah-olah
ia menutupi tentang masalah yang Sri Rahayu alami.
Fahri enggan
menyinggung pertanyaan yang dilontarkan. Ia malah banyak meledek dengan
menyebutku bujang lapuk. Aku sangat tersinggung walau baginya itu hanya sebuah
canda tawa. Statusku yang belum berkeluarga kadang kala menjadi senjata untuk
menyerang dan menjatuhkanku.
“Entah sampai kapan kau
membujang begini,” ledek Fahri tanpa melihat ketidak sukaanku terhadap
bicaranya.
“Aku menunggu gadis
berjilbab yang kini jarang ke luar rumah. Aku mencintai dan menyayanginya
dengan tulus. Tapi mengapa akhir-akhir ini dia jarang lewat ke sini yah,”
balasku balik menyinggung tentang keponakannya.
“Siapa gadis berjilbab
yang kau maksud?” Fahri bertanya padaku.
“Sri Rahayu!!
Keponakanmu,” kujawab dengan senyum simpul menyeimbangkan gaya bicaranya.
Terlihat wajah Fahri
sedikit berubah ketika kusebut nama Sri Rahayu untuk kedua kalinya. Tak lama
kemudian ia menundukan kepala dan mengalihkan pembicaraan. Aku berkata jujur
pada Fahri bahwa aku menyukai Sri Rahayu. Fahri tak menjawab atas kejujuran
cintaku pada keponakannya. Ia malah memilih pergi ketimbang membalas
pertanyaanku.
“Wah kayaknya sudah
siang. Saya harus ke sekolah dulu untuk mengisi jam kosong guru yang tidak
masuk,” Fahri pergi meninggalkan aku di sebuah halaman.
Tak ada jawaban yang
bisa kucerna tentang masalah Sri Rahayu walau pada pamannya sendiri. Pihak
keluarganya menutupi tentang gadis berjilbab yang aku sukai tersebut. Semua
tetangga pun mempertanyakan ada apa dengan Sri Rahayu yang menjadikan sebuah
tanda Tanya besar buat warga kampung Cisoka. Pak Rt pun ikut mempertanyakan
atas perubahan Sri Rahayu. Apalagi Sri Rahayu adalah gadis yang aktif di
organisasi kepemudaan Cisoka. Lambat laun aku mengorek informasi dari keluarga
perihal Sri Rahayu. Aku datang ke rumahnya dan langsung berbicara dengan orang
tua yang sudah kukenal. Awalnya kedua orang tuanya enggan untuk menjelaskan
masalah Sri Rahayu. Namun secara perlahan mereka menjelaskan dengan runtut
dibarengi dengan air mata yang menjuntai. Sungguh tragis mendengar permasalahan
yang kini dialami oleh Sri Rahayu.
“Itulah yang bisa ibu
ceritakan. Dia lebih banyak mengurung diri di kamarnya,” singkat cerita ibu Sri
Rahayu menjelaskan.
“Apakah ibu sudah
membawanya ke paranormal atau ke dokter yang ahli dalam masalah yang Rahayu
alami,” nasehatku pada ibu yang usianya hampir setengah abad.
“Sudah! Kalau menurut dokter. Ia hanya terkena
penyakit hysteria. Sedangkan menurut para normal ke sambet mahluk halus,” balas
ibunya yang tiada henti menangis.
“Boleh saya melihat
kondisi Sri Rahayu?” pintaku.
“Silahkan. Ia ada di
kamarnya. Lihatlah kondisi yang kini ia alami,” ibunya mengantarkanku.
Aku melihat keadaan Sri
Rahayu di sudut kamar yang hampa. Wajah cantiknya laksana gadis Persia dan
untaian jilbab seumpama gadis-gadis Mesir tidak memudarkan mataku. Bagiku ia
tetap cantik seperti yang biasa kulihat setiap pagi di depan rumahku. Ternyata
benar apa yang diceritakan ibunya. Masalah yang kini dihadapainya begitu berat.
Di setiap dinding kamarnya begitu banyak tulisan-tulisan kekecewaan terhadap
masalah cinta. Sayang dia tidak tahu hatiku bahwa ada laki-laki lain yang
menyukainya. Bagi Rahayu, cinta sejatinya hanya pada Samsul teman kuliah di
kampus yang kini Rahayu jalani. Akan tetapi, cinta Sri Rahayu kandas setelah
mengetahui bahwa Samsul menikahi Naura teman sekaligus karib terdekat Sri
Rahayu. Hanyalah air mata yang tiada henti menari di ruangan kamarnya. Aku tahu
dia kecewa terhadap Samsul. Namun tidak serta merta menangis terus menerus
tanpa melepas keiklasan hatinya.
Rahayu tidak menyangka
dengan Naura. Mungkin itulah yang membuat Rahayu tidak berhenti menangis ketika
sahabatnya menghkianati. Aku mencoba mendekati gadis yang terus menerus berduka
karena cinta. Aku berusaha membujuknya agar mencoba sabar dan mengikhaskan
masalah cintanya itu. Tapi percuma, bujuk rayuku tak mampu menghela kesedihan
yang terus mengalir di kedua mata birunya.
“Pergi!!! Siapa kau.
Keluar dari kamarku,” Sri Rahayu mengusirku.
Dengan kondisi yang
seperti itu, bagaimana mungkin aku mengungkapkan cinta padanya. Sejujurnya
dengan kedatanganku ke rumah Rahayu untuk meminangnya ke pelaminan. Bujuk
rayuku untuk menghela air matanya yang mengalir deras tak bisa. Kalau saja ia
sesaat berhenti menangis. Mungkin Rahayu bisa kuajak bicara baik-baik untuk
kulamar. Walau usiaku sangat berbeda jauh dengannya. Tapi niat baikku sangat
mulia mengajak Sri Rahayu berumah tangga.
Entah sampai kapan rasa
duka itu berhenti. Bukankah dia gadis hebat dan aktif dalam segala hal. Tapi
mengapa hanya gara-gara masalah cinta deraian air matanya enggan berhenti.
Justru semakin hari semakin larut dalam kesdihan.
Waktu pun terus
merotasi seiring roda zaman menggelinding pelan. Hari demi hari kudengar rumor
bahwa jerit tangisnya tak mau redup. Orang tuanya sudah lelah terhadap
permasalahan yang dialami anaknya itu. Tak ada obat yang dapat menyebuhkan
hatinya kecuali ia memiliki cinta kembali. Lantas bagaimana dia mendapatkan
cinta dari seorang pria bila dirinya sendiri kini sudah menjadi gila. Psikologi
dan mentalnya benar-benar terganggu pasca ditinggalkan kekasih tercintanya
bernama Samsul.
“Sungguh malang gadis
itu. Padahal dia sangat cantik. Sayanganya kini psikiloginya terganggu. Hanya
tangisan air mata yang sebagai komunikasi sehari-harinya. Padahal aku mencintai
dan sayang setulus hati,” gumamku.
“Tapi percuma. Walaupun
ia waras. Mana mungkin ia mencintai aku yang sudah hampir berusia satu abad.
Umurku sudah genap delapan puluh dua tahun,” lanjutku kembali,
Aku memang memimpikan
mendapatkan istri yang berjilbab. Namun sayang seribu sayang. Gadis berjilbab
yang kucintai telah berrubah. Mungkin dengan kondisi seperti itulah aku
menikahinya. Di usiaku yang tinggal menghitung almanak. Apakah ada wanita muda
dan waras yang mau menikah denganku. Hanyalah Sri Rahayu gadis berjilbab yang
tak berhenti melelehkan air mata yang bisa kujadikan istri. Walau psikologinya
terganggu karena cinta.
Sumber : http://hendrisangpembebasguru.blogspot.co.id/2012/05/cerpen-tangisan-gadis-berjilbab-cinta.html