Fenomena
dimasyarakat: Nikah Dini Sebagai Suatu Degenerasi
SISI
LAIN dari kemajuan zaman dan teknologi informasi yang menjulang langit, justru
membawa konsekuensi tersendiri. Seiring dengan itu, pengetahuan kita tentang
hal-hal yang tak masuk akal pun kian muncul ke permukaan. Diantaranya,
fenomena perkawinan di bawah umur (pernikahan dini), ternyata masih marak
terjadi.
Sebaliknya, boleh jadi
salah satu pemicu terjadinya nikah di bawah umur justru akibat dari kemajuan
zaman dan teknologi media informasi. Apapun pemantiknya, nikah
di bawah umur adalah fenomena sosial budaya yang tidak masuk akal karena pelaku
sekaligus korban, sesuai peraturan perundangan masih dalam kategori usia
anak-anak.
Sekaligus melestarikan
pelanggaran hak untuk mendapatkan pendidikan, berpikir dan
berekspresi, hak untuk menyatakan pendapat dan didengar
pendapatnya, hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan teman sebaya, bermain, berekspresi, dan berkreasi. Juga
merenggut hak mendapat perlindungan.
Anak-anak sebagai
korban sekaligus pelaku seringkali terkurung pelbagai justifikasi perkawinan
bawah umur yang bisa datang dari orangtua, hakim pengadilan agama, tokoh agama,
tokoh masyarakat adat, dan tak jarang juga atas inisiatif pelaku sendiri.
Orang tua bisa
berdalih meringankan beban tanggungjawab ekonomi yang mendorong terjadinya
pernikahan tersebut. Atau atas nama pelestarian dinasti kekayaan tertentu. Bahkan
secara ekstrem bukan tidak mungkin pernikahan di bawah umur sebetulnya adalah
modus terselubung penjualan anak-anak mereka.
Ketiadaan kesadaran
hukum yang kemudian mentradisi juga menjadikan pernikahan di bawah umur suatu
solusi. Pergaulan bebas yang berbuah kehamilan di luar nikah, misalnya,
menjadikan perkawinan sebagai cara untuk menutup aib keluarga. Seringkali
keadaan ini disokong oleh pejabat kantor urusan agama, yang menyakini bila tak
segera dinikahkan pasangan-pasangan seperti itu cenderung menafikan norma agama
dan perzinahan merajalela.
Selain tentu saja, di
pelbagai daerah telah mentradisi bentuk perjodohan oleh orangtuanya. Biasanya
mereka berpegang mitos umum bila anak telah lepas masa menstruasi di usia
12 tahun, maka sudah waktunya untuk menikah. Diantara beberapa kenyataan
tersebut, yang paling populer adalah keyakinan yang dianut dari pelbagai tafsir
hadist nabi oleh tokoh-tokoh agama. Berdalih meneladani sunah rasul,
maka perkawinan di bawah umur tersebut kerap kali masih terjadi.
Efek
Domino
Lebih dari itu,
tampaknya data yang dilansir Badan Pemberdayaan Perempuan Jawa Timur pada tahun
2010 cukup mencengangkan. Di beberapa kabupaten di Jawa Timur terungkap
angka pernikahan pertama penduduk perempuan bawah umur 17 tahun memperlihatkan
di atas 50 persen dari total pernikahan di daerahnya. Seperti Kabupaten
Jember mencapai 56 persen, Bondowoso 73, 9 persen, Probolinggo 71,5
persen, Lamongan 52, 5 persen, Sampang 63,8 persen, Pamekasan 59,2 persen, dan
Kabupaten Sumenep 60 persen.
Sementara secara
nasional data BPS memperlihatkan hampir 47 persen perempuan pernah menikan saat
usia mereka di bawah 18 tahun; 13,4 persen perempuan sudah menikah pada usia
10-15 tahun; 33,4 persen menikah usia 16-18 tahun. Pernikahan perempuan pada
usia 10-15 tahun tertinggi terdapat di Kalimantan Selatan dengan jumlah 18,89
persen dari jumlah perempuan yang pernah menikah. Menyusul kemudian Jawa
Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Papua, Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Timur yang rata-rata berjumlah 10 persen dari populasi
perempuan yang pernah menikah.
Dampak terburuk
yang penting dicermati bagi pernikahan bawah umur, adalah terganggunya aspek
psikologis pelaku. Masalah psikologis berupa kesehatan mental pelaku yang
sekaligus cenderung sebagai korban berpengaruh besar bagi
kelangsungan rumah tangga mereka, yang diamanatkan UU
Perkawinan. Yaitu menciptakan sebuah keluarga bahagia dan kekal disertai
kewajiban dan tanggung jawab yang besar pula.
Bangun rumah tangga di
atas pondasi kesehatan mental yang rapuh, berbuntut tanda Tanya
besar, bagaimana seorang di usia yangseharusnya masih
mendapat bimbingan dalam menjalani kehidupan, kebebasan dalam berekpresi
yang sesuai tingkat kecerdasannya, dan memperolehpendidikan untuk menjadi
tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa yang menjamin
kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan, kemudian diberikan
tanggungjawab dan kewajiban untuk menjadi suami-istri?
Terlebih negara telah
(melalui UU Perkawinan dan masyarakat dengan stigmanya) nyata-nyata
memberikan tanggungjawab kepada pasangan yang tidak siap itu, untuk
mengurusi segala bentuk kebutuhan rumah tangga. Pendeknya sudah tak ada
ampun bagi negara.
Tidak hanya berhenti di
situ, gangguan kesehatan mental selanjutnya berpengaruh juga pada
masalah psikologi sosial pelaku/korban pernikahan di bawah
umur. Interaksi, komunikasi, sosialisasi, juga adaptasi di
lingkungan masyarakat menjadi terkendala. Secara ekstrem masalah
keterasingan di kalangan pasangan nikah di bawah umur lebih menguasai mereka
pada saat berinteraksi dengan masyarakatnya yang
lebih komplek.
Keterasingan
akibat masalah psikologi social pasangan nikah di bawah umur ini berdampak
pada kemampuan adaptasinya, kedewasaannya, cara pandangnya, gaya komunikasinya,
dan tentu saja kualitas daya intelektualnya. Yang disebut terakhir ini,
memperlihatkan terpotongnya aspek perkembangan budaya pasangan menikah di bawah
umur, selain disebabkan oleh jenjang kesempatan pendidikan yang
terenggut. Sampai pada aspek ini, pasangan nikah di bawah umur bisa
dikatakan tidak berkualitas secara budaya.
Terlebih manakala
pasangan tersebut berikutnya menghadapi masalah kesulitan ekonomi, yakni
ketidaksiapan mereka memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, pada saat angka
kemiskinan terus melonjak. Data BPS menyebutkan jumlah pengangguran
meningkat dengan didominasi oleh
kaum wanita dibandingkan pria. Stereotype perempuan
sebagai konco wingking, dan marginalisasi yang legal dari UU Perkawinan
dalam situasi kesulitan ekonomi memperbesar kemungkinan terjadinya
kriminalisasi dalam rumah tangga.
Pelbagai kemungkinan
bentuk KDRT berpeluang terjadi di dalamnya dan tentu saja lebih
banyak menempatkan perempuan sebagai korban. Berlanjut pada tingginya angka
perceraian di kalangan pasangan di bawah umur yang berbuntut pada praktek
prostitusi terselubung maupun terbuka.
Kemudian dari aspek
kesehatan, ketidaksiapan organ-organ tubuh perempuan, dalam hal ini
yang berhubungan dengan kehamilan dan kesiapan organ tubuh perempuan untuk
melahirkan seorang bayi telah meningkatkan resiko kematian ibu
dan anak. Pada aspek ini seringkali disertai dengan pelbagi kemungkinan
praktek kriminalitas berupa kasus aborsi yang merajalela.
Terakhir yang tak kalah
penting untuk dicermati adalah dampak dari perkawinan di bawah umur
atas rendahnya kualitas keluarga, ketidaksiapan psikis, sosial, ekonomi
dan juga budaya, adalah menyangkut kelangsungan kualitas hidup anak-anak yang
dilahirkan dari pasangan tersebut. Anak-anak yang lahir dari keluarga yang
berkualitas rendah, tentu masa depannya sesuram nasib negara yang didiaminya.
Pernikahan dini dalam
prespektif agama dan negara
|
Isu
pernikahan dini saat ini marak dibicarakan. Hal ini dipicu oleh pernikahan
Pujiono Cahyo Widianto, seorang hartawan sekaligus pengasuh pesantren dengan
Lutviana Ulfah. Pernikahan antara pria berusia 43 tahun dengan gadis belia
berusia 12 tahun ini mengundang reaksi keras dari Komnas Perlindungan Anak.
Bahkan dari para pengamat berlomba memberikan opini yang bernada menyudutkan.
Umumnya komentar yang terlontar memandang hal tersebut bernilai negatif.
Di
sisi lain, Syeh Puji, begitu ia akrab disapa berdalih untuk mengader calon
penerus perusahaannya. Dia memilih gadis yang masih belia karena dianggap
masih murni dan belum terkontaminasi arus modernitas. Lagi pula dalam
pandangan Syeh Puji, menikahi gadis belia bukan termasuk larangan agama.
Sebenarnya
kalau kita mau menelisik lebih jauh, fenomena pernikahan dini bukanlah hal
yang baru di Indonesia, khususnya daerah Jawa. Penulis sangat yakin bahwa mbah
buyut kita dulu banyak yang menikahi gadis di bawah umur. Bahkan—jaman
dulu—pernikahan di usia ”matang” akan menimbulkan preseden buruk di mata
masyarakat. Perempuan yang tidak segera menikah justru akan mendapat
tanggapan miring atau lazim disebut perawan kaseb.
Namun
seiring perkembangan zaman, image masyarakat justru sebaliknya. Arus
globalisasi yang melaju dengan kencang mengubah cara pandang masyarakat.
Perempuan yang menikah di usia belia dianggap sebagai hal yang tabu. Bahkan
lebih jauh lagi, hal itu dianggap menghancurkan masa depan wanita,
memberangus kreativitasnya serta mencegah wanita untuk mendapatkan
pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.
Pernikahan
Dini menurut Negara
Undang-undang
negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang
Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak
perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.
Kebijakan
pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya
melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua
belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental.
Dari
sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi
ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi
sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini
disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir
yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang
mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir
pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
Pernikahan Dini
menurut Islam
Hukum
Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama,
jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu
diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab
itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa agar jalur
nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus
melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya
geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.
Agama
dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai pernikahan dini. Pernikahan
yang dilakukan melewati batas minimnal Undang-undang Perkawinan, secara hukum
kenegaraan tidak sah. Istilah pernikahan dini menurut negara dibatasi dengan
umur. Sementara dalam kaca mata agama, pernikahan dini ialah pernikahan yang
dilakukan oleh orang yang belum baligh.
Terlepas
dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang sempat
tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali
muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang
terjadi antara para sarjana Islam klasik dalam merespons kasus tersebut.
Pendapat
yang digawangi Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama melarang pernikahan dini
(pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai esensial pernikahan
adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara
dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan
pada tujuan pokok pernikahan.
Ibnu
Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah ini
dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam
menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6
tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw yang
tidak bisa ditiru umatnya.
Sebaliknya,
mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini
merupakan hasil interpretasi dari QS. al Thalaq: 4. Disamping itu, sejarah
telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda.
Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat.
Bahkan
sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi
konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai
lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap.
Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah
terpatahkan.
Imam
Jalaludin Suyuthi pernah menulis dua hadis yang cukup menarik dalam
kamus hadisnya. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh
diakhirkan yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan
wanita tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang setara/kafaah”.
Hadis
Nabi kedua berbunyi, ”Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai
anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu
berdosa dan dosa tersebut dibebankan atas orang tuanya”.
Pada
hakekatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi positif. Kita tahu, saat ini
pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan
norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana akibat
kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila di
masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai
pada taraf yang memprihatinkan. Hemat penulis, pernikahan dini merupakan
upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada
terjerumus dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang
siap untuk bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’ kenapa
tidak ?
Daftar
Pustaka :
UU
Perkawinan di www.depag.go.id .
Ibrahim,
al Bajuri hlm. 90 vol. 2 Toha Putra, Semarang.
Ibnu
Hajar al ’Asqalani, Fathul Bari vol.9 hlm.237 Darul Kutub Ilmiah, Beirut.
Jalaluddin
Suyuthi, Jami’ al Shaghir hlm.210 Darul Kutub Ilmiah, Beirut.
Ibid,
hlm.501.
Imam
Syatibi, al Muwafaqot hlm.220 Darul Kutub Ilmiah, Beirut.
Izzudin
Ibn Abd. Salam, Qowa’id al Ahkam hlm.90 vol.II Darul Kutub Ilmiah, Beirut.
|